Sabtu, 05 Oktober 2013

Sekecap "Secangkir Kopi dari Playa" di Indonesia Kreatif..

PAHIT MANIS SECANGKIR KOPI DARI PLAYA

http://indonesiakreatif.net/news/liputan-event/pahit-manis-secangkir-kopi-dari-playa/



20131004_Pahit_Manis_Secangkir_Kopi_dari_Playa_3
Warisan ingatan mengenai peristiwa kelam September 1965 bukan hanya melalui tulisan saja, melainkan juga melalui media seni. Papermoon Puppet Theatre, telah membuktikannya lewat teater boneka. Pementasan berjudul “Secangkir Kopi dari Playa” untuk kedua kalinya kembali digelar di Jakarta. Lakonnya diangkat dari sebuah kisah nyata tentang cinta dua anak bangsa yang kandas karena peristiwa ‘65. Kisah ini menghadirkan pahit manis kehidupan.
Pementasan teater boneka ini merupakan salah satu dari rangkaian acara yang dihelat oleh Goethe-Institut dari tanggal 29 September hingga 6 Oktober 2013 yang bertajuk Budaya & Konflik. Selain itu, acara lain yang tak kalah menarik adalah pemutaran film, seminar, diskusi, pameran seni, peluncuran buku, serta pertunjukan tari. Pihak Goethe-Institut bermaksud menyoroti konflik-konflik di Indonesia dan menempatkan semuanya dalam konteks internasional. Melalui acara ini kita diajak mengingat pengalaman masyarakat yang berbeda-beda ketika mengalami kekerasan, maupun menghadapi konflik peristiwa masa lalu. Termasuk juga melihat sejauh mana seni dan budaya berperan dalam mencegah konflik dan mengupayakan perdamaian.
20131004_Pahit_Manis_Secangkir_Kopi_dari_Playa_1
Sejak awal, penonton telah diajak untuk ikut ambil bagian dalam “Secangkir Kopi dari Playa”. Pementasan ini gratis, tapi penonton wajib menukarkan tiketnya dengan sebuah benda berharga yang memiliki kenangan yang ingin dilupakan. Sejak hari pertama penukaran tiket (23/9), tiket telah habis dipesan, bahkan banyak juga yang masuk dalam daftar menunggu. Bahkan, pementasan yang tadinya dijadwalkan dua hari saja yaitu tgl 30 Sept—1 Okt ditambah sampai tgl 2 Okt. Uniknya, di tiket tersebut para penonton diwajibkan mengenakan dresscode vintage. Penonton juga diminta datang 30 menit sebelum waktu pementasan karena pertunjukan tidak akan digelar di Goethe Haus, melainkan di suatu tempat rahasia.
Ketika hari pertunjukan tiba, seorang laki-laki mengenakan topi pet cokelat tua yang serasi dengan kemejanya menyambut hangat kami. Dia adalah Frans yang mengaku sebagai guide yang akan mengantar kami ke tempat acara. Dengan menaiki mini bus, sebanyak 30 penonton dibawa ke sebuah rumah di Jalan Pekalongan yang disebut Frans sebagai Museum Pahit Manis. Sampainya di sana kami disambut dengan nyala lampion yang menawan. Ternyata, isi Museum Pahit Manis tersebut adalah semua benda-benda yang penonton tukar dengan tiket. Frans kemudian membawa kami melihat-lihat benda-benda tersebut. Benda yang mengandung kenangan manis, namun ingin dilupakan. Hal ini seolah mengingatkan bahwa kita tak seorang diri pernah mengalami peristiwa manis, yang berhujung pahit dalam hidup. Kemudian dia menggiring kami memasuki sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat berbagai barang-barang antik. Dia kemudian bercerita kisah-kisah di baliknya. Tidak ada tanda-tanda pertunjukkan akan dimulai. Lalu, tiba-tiba lampu mati. Frans kemudian pamit hendak memperbaiki lampu.
20131004_Pahit_Manis_Secangkir_Kopi_dari_Playa_4
Di tengah berbagai barang-barang antik yang telah tertata rapi itu, perlahan lampu menyala dan sepasang boneka muncul. Boneka-boneka itu seolah hidup, kendati didalangi dan tidak berbicara. Kisah mengenai Widodo Suwardjo pun bergulir selama kurang lebih satu jam. Pemuda kelahiran 2 September 1940 tersebut, bergelut di Fakultas Teknik Sipil UGM. Dia mencintai seorang perempuan dan berencana menghabiskan sisa hidup bersamanya. Namun, suatu hari Wi mendapat kehormatan dari Soekarno untuk melanjutkan studi S2 di Institut Metalurgi Baja di Moskow, Uni Sovyet. Rasa bangga menyeruak di dada Wi. Antara gembira sekaligus sedih karena artinya dia harus pergi berpisah dengan kekasihnya. Namun, WI berjanji dengan memberikan perempuan itu cincin bahwa ia akan pulang untuk menikah dengannya setelah studinya selesai. Awal-awal Wi berada di sana, mereka masih menjalin komunikasi melalui surat. Tapi apa daya, komunikasi mereka harus berakhir karena putusnya hubungan antara Indonesia dengan apa pun yang berbau komunis. Gejolak hebat di dada Wi bergemuruh. Dia tidak dapat pulang ke rumahnya karena peristiwa tersebut. Terlebih sedih lagi karena dia tidak dapat menjumpai kekasihnya. Tahun demi tahun berlalu dan sang kekasih akhirnya menerima pinangan laki-laki lain. Waktu membuat Wi menjadi tua, namun cintanya abadi bagi kekasihnya sampai akhirnya dia mendapatkan paspor untuk pulang. Meskipun telah memiliki suami, sang kekasih tetap mengingat Wi di setiap cangkir kopi yang diteguknya. Begitupun Wi, dia sampai menelusuri kembali jalan-jalan dengan bus yang pernah diarungi bersama sang kekasih. Dengan sebongkah harapan suatu saat akan menjumpai kekasihnya. Namun, di akhir cerita mereka tidak juga berjumpa. Frans kemudian kembali muncul usai pertunjukan. Kami seolah ditarik ke tahun ‘65-an dan bersentuhan langsung dengan pejalanan hidup Wi.
20131004_Pahit_Manis_Secangkir_Kopi_dari_Playa_2
“Biasanya boneka identik dengan anak-anak. Papermoon berhasil mengemas cerita sejarah dengan cara yang unik melalui teater boneka. Karena tidak pakai dialog, jadi semua orang bisa nonton tanpa ada batasan bahasa,” ungkap Giasinta Angguni, seorang fans berat Papermoon yang setia mengikuti Papermoon ke mana pun pentas. Apabila dibandingkan dengan kisah-kisah lain seputar G30S/PKI, kisah ini begitu sederhana. Namun, rasa haru yang dalam akan cinta sejati yang dimiliki kedua anak manusia tersebut, sanggup menggetarkan hati kita. Terlalu banyak korban karena peristiwa ‘65, Wi dan kekasihnya di antaranya. Ketika ditanya perasaan dan harapannya, Maria Tri Sulistyani yang akrab disapa Ria selaku pendiri Papermoon Puppet Theatre  menjawab, “Perasaannya senang banget pastinya. Harapannya kami bisa mementaskan ini di depan Pak Wi. Someday…”

Read more at http://indonesiakreatif.net/news/liputan-event/pahit-manis-secangkir-kopi-dari-playa/#BRShxz67K8ivLkqP.99

Sabtu, 21 September 2013

Secangkir Kopi dari Playa : tentang kenangan yang ingin dilupakan


Sudah 2 tahun lamanya kami punya angan-angan untuk kembali mementaskan "Secangkir Kopi dari Playa".
Kisah ini terus menerus kami ceritakan pada teman-teman kami yang berkunjung ke Rumah Papermoon. Mata kami selalu berbina-binar menceritakan kisah perjumpaan kami dengan cerita ini, hingga kemudian pertunjukan itu sendiri tidak pernah berhenti di atas panggung bagi kami.
Ya, cerita ini ternyata terus menerus mewarnai perjalanan berkarya kami.

Beberapa kali kami mencoba membayang-bayangkan ruang macam apa yang akan cocok untuk mementaskan karya ini lagi.
Apalagi tak banyak toko barang antik yang mau menyediakan ruangnya untuk kami obrak-abrik selama beberapa minggu.

Rumitnya pertunjukan ini juga dikarenakan karena konsep pementasannya yang ada di sebuah tempat rahasia, dan hanya bisa dihadiri oleh 25-30 orang per pertunjukan.
Bukan hal yang cukup menguntungkan bagi pihak sponsor tentunya, karena pementasan ini tidak bisa dihadiri banyak orang.
(Makanya kami agak kesulitan mementaskannya di tempat lain)

Tapi ternyata penantian kami terjawab juga.



Goethe Institute tertarik untuk mengundang kami mewujudkan pementasan ini di Jakarta.
Ya.. lengkap dengan segala kerumitannya.

Dan kali ini, kami menambah sebuah elemen lagi pada calon penonton..

Kami tidak menjual tiket.

Tapi kami meminta para calon penonton untuk sedikit membagi kisah hidup mereka.
Kami meminta calon penonton untuk membawa satu barang yang begitu ingin mereka lupakan, berikut tulisan mengenai kenangan mereka tersebut, untuk ditukar dengan 1 tiket.

Tidak rumit, sebenarnya...
tapi juga tidak mudah ternyata.

Hal ini kami lakukan, karena kami ingin penonton juga melakukan hal yang sama dengan Pak Wi.
Membagi kenangan manis yang pernah ada, kenangan yang mungkin sudah lama ingin disimpan sendiri, agar hanya manis dikenang saat sendiri... 
atau justru karena kita tak punya saluran untuk membuangnya.

"Secangkir Kopi dari Playa" .. adalah sebuah kisah manis yang selalu berhasil membuat kami sesak napas.
Sesak napas karena kami sadar bahwa kenangan indah justru akan selalu indah ketika kita mengenangnya dengan orang yang tepat.
Dan 29 orang yang akan duduk bersama anda di kursi penonton "Secangkir Kopi dari Playa" besok itu, mungkin akan menjadi orang yang tepat untuk anda membagi kenangan...

Sampai jumpa di ibukota,
tempat dimana Pak Wi menyimpan masa lalunya...


Sabtu, 05 Januari 2013

Kisah Manis Penutup Tahun : Saat "Setjangkir Kopi dari Plaja" Kembali Disesap

oleh Maria Tri Sulistyani ( Scriptwriter, Artistic Director "Secangkir kopi dari Playa" )



tinggal beberapa jam saja tahun 2012 akan berakhir.
tahun 2012 adalah tahun yang cepat dan sangat dinamis buat saya dan buat Papermoon.
dan bahagianya, akhir tahun ini ditutup dengan rasa yang sangat manis.....

kalau saja beberapa teman masih mengingat "Secangkir kopi dari Playa"...
ya.. karya Papermoon yang sempat dipentaskan di toko barang antik pada penghujung tahun lalu itu.

Ah... salah satu karya Papermoon Puppet Theatre yang tak pernah berhenti memberi saya kejutan.

Hari ini lagi-lagi saya mendapat kejutan manis dari "Secangkir Kopi dari Playa".
Dengan maksud menepati janji lama saya pada Pak Wi untuk mengirimkan sebuah hadiah ulang tahun ke 100 bagi ayahandanya,
dua hari lalu saya mengirimkan satu paket istimewa untuk sang ayah dari idola kami tersebut..

Sebuah DVD "Secangkir Kopi dari Playa", sebuah katalog pementasan, dan sebuah album foto cerita dokumentasi pementasan kami , karya seorang teman -- diterbangkan ke Bandung.
Kota dimana sang ayah berdomisili.

Hari ini,
seseorang menyebut nama saya di linimasa twitter.

Sebuah gambar terpampang di sana...

Hadiah sudah diterima oleh sang ayah...
dengan senyuman mengembang.
Bahagia di usianya yang ke 100.
Terobati sudah rindunya pada sang anak yang tinggal di Kuba sana...
yang sudah hampir 10 tahun tak berjumpa.

Terimakasih semesta,
atas hadiah penutup tahun yang luar biasa...
semoga dirimu mengijinkanku untuk berjumpa dengan mereka suatu hari nanti...

Selamat ulang tahun, Eyang Djo ... :')
karena sudah menjadi ayah yang berhati seluas samudera.




Selamat Tahun Baru, sahabat Papermoon..

"Setjangkir Kopi dari Plaja" : Bukan Sekedar Pentas di Atas Panggung


oleh Maria Tri Sulistyani  ( Scriptwriter, Artistic Director "Secangkir kopi dari Playa" )


Baru saja saya mengakhiri pembicaraan dengan seseorang di telepon.
Tanpa terasa ada air yang menitik di sudut mata saya selama saya berbicara dengan orang tersebut di telepon.
Perasaan saya mengambang...

Dan teringatlah saya pada awal proses bagaimana  air mata saya menitik lagi hari ini.

*****


Tahun 2008, saat saya dan Iwan Effendi bikin riset tentang pementasan teater boneka perdana untuk dewasa "Noda Lelaki di Dada Mona", saat itulah kami mendengar sebuah kisah pendek dari seorang teman, tentang seorang mahasiswa di tahun 60-an yang kehilangan kewarganegaraannya saat pecah peristiwa September 1965 karena ia dikirim untuk tugas belajar oleh Presiden Soekarno ke Rusia.
Sebelum ia berangkat ke Rusia, ia telah mengikat janji dengan kekasihnya untuk kemudian menikah setelah usai masa belajarnya di Rusia.
Dan sayangnya  hal itu tak pernah terjadi. Sang mahasiswa mendadak dicabut kewarganegaraannya oleh pemerintah Orde Baru karena dianggap pro-Soekarno, dan belajar di negara komunis. Ia tak bisa pulang, tak bisa menghubungi keluarga dan kekasihnya secara tiba-tiba. Tanpa alasan yang dipahaminya.
40 tahun lebih telah berlalu, dan sang mahasiswa telah menyelesaikan studi S3, dan menjadi ahli Metalurgi di Kuba..
40 tahun telah berlalu, dan ia tetap memilih tidak menikah, demi memenuhi janjinya pada kekasih yang entah di mana...
Di masa pemerintahan Gus Dur, sang ahli metalurgi kemudian mendapat visa untuk bisa kembali ke tanah air... untuk menemui sejumlah keluarganya.
Visa yang hanya berlaku beberapa bulan itu digunakannya untuk mencari sang kekasih masa lalu...
Dari kisah yang saya dapat.. hampir setiap sore, sang ahli metalurgi naik bis dengan trayek yang sama dengan jurusan yang dulu, di tahun 60an, selalu ditempuh sepasang kekasih itu ...dengan harapan, ia akan berjumpa dengan sang kekasih masa lalu di dalam bis!

****

Kisah ini sangat melekat kuat di kepala dan hati saya.
Mungkin dianggap terlalu drama oleh banyak orang... tapi tidak buat saya..
Ini kisah nyata... dan seorang anak manusia mengalaminya.
Mulai hari itu saya bertekad untuk, suatu hari, akan membuat karya yang saya dedikasikan untuk sang ahli metalurgi.

**

"Setjangkir Kopi dari Plaja", judulnya.
Secangkir Kopi yang disajikan dari Playa, sebuah sudut kota di Kuba..
Secangkir kopi yang terasa manis pahit dan juga getir..

Dengan bermodalkan jaringan internet 24 jam di rumah, dan berbekal sedikit keywords, saya mulai menjelajah dunia maya, untuk menemukan info tentang si ahli metalurgi.
Di sanalah saya berkenalan dengan sosok Pak Wi.
Saya beruntung...saya berjumpa dengan tak lebih dari 10 artikel mengenai beliau di dunia maya ini...
dan satu hal yang menjadi kunci, saya bisa menjumpai alamat beliau di dunia maya.

Korespondensi di dunia maya pun saya mulai.
Saya mengucapkan salam, memperkenalkan diri, menyodorkan beberapa link video dan website Papermoon Puppet Theatre padanya, dan menyatakan kekaguman saya pada kisah hidup beliau.
Saya mau bekerja dengan sopan, pikir saya.
Beliau masih hidup, dan saya mau mengangkat kisah hidupnya ke dalam sebuah karya sederhana saya, maka saya harus meminta ijin.

Gayung bersambut, email saya dibalas dengan penuh sukacita.
Kali itu beliau menyatakan apresiasinya pada pementasan kami "MWATHIRIKA" yang kebetulan juga berlatarbelakang sejarah 65.
Itu pertama kalinya air mata saya menitik dalam proses "Setjangkir Kopi dari Plaja".
Satu pintu telah terbuka..pikir saya.
Pintu kedua juga terbuka, setelah saya mendapati ternyata si penulis artikel-artikel mengenai Pak Wi, adalah kakak kelas saya di kampus! Betapa alam semesta !!!!

Beberapa kali saya dan Pak Wi saling membalas email.
Kami lebih banyak bicara mengenai kisah-kisah saat beliau masih menjadi mahasiswa.
dan tak satupun kisah mengenai hubungan percintaannya keluar dalam tulisan-tulisannya.
Saya pun tak berani mengungkit kisah itu. Apalagi saya juga tahu, bahwa akhirnya sang kekasih masa lampau juga telah menikah, dan punya 4 cucu.

Saya sempat menawari untuk mengirimi naskah pementasan kami, tapi beliau tak merespon.
Sampai akhirnya saat kami akan memulai pementasan, Pak Wi berhenti menjawab email saya.
Saya mengirimi beliau email berkali-kali tapi tak pernah berbalas.
Jangan-jangan beliau marah, pikir saya.. atau merasa terganggu.

Saya pun semakin berhati-hati untuk mencantumkan nama beliau, bahkan nama sang kekasih masa lampau nya dalam pementasan kami.

Dan pementasan tetap kami gelar, meskipun email-email terakhir saya tak pernbah berbalas.
Sebelum pertunjukan kami digelar, selama 16 kali,kami selalu berdoa bersama,
dan menyebutkan bahwa kisah ini kami dedikasikan penuh pada cinta mereka yang masih ada.

****

Pementasan pun usai.
Toko barang antik yang kami gunakan menjadi panggung pertunjukan, sudah kembali menjadi toko barang antik. Boneka-boneka sudah kembali kami simpan dengan rapi, syukuran sudah kami gelar, dan kami sudah mulai menggarap karya baru kami yang lain.
Email ucapan terimakasih dan kabar bahwa pementasan sudah berhasil kami gelar, sudah saya kirimkan pada Pak Wi.
Tapi tetap tak berbalas.

Hingga sampai pada suatu hari, salah satu sahabat saya yang bekerja di Deplu memberi kabar, bahwa rekan sejawatnya akan ada yang berangkat ke Kuba.
Saya pun tergopoh-gopoh menyiapkan satu paket hadiah kecil untuk saya titipkan agar bisa diberikan pada Pak Wi.
Sekeping DVD dokumentasi pementasan "Setjangkir Kopi dari Plaja" , 3 buah katalog pertunjukan "Setjangkir Kopi dari Plaja" dan 3 lembar surat yang saya tulis tangan.

Hadiah kecil itu terbang ke Kuba, dan suatu sore saya menerima email. Dari Pak Wi. Setelah 4 bulan tak berkabar.
Beliau mendapat telepon dari KBRI untuk mengambil paket kecil dari saya!
dan segera setelah hadiah kecil itu dibuka, dan DVD itu ditontonnya, beliau kembali mengirim kabar pada saya.
Tepat di sebuah malam, 4 bulan setelah pementasan kami usai digelar, 15 menit sebelum ulang tahun Papermoon Puppet Theatre yang ke-5 berakhir, saya menerima email dari Pak Wi.
Beliau terharu, mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan berkata "siapalah saya, sampai karya ini didedikasikan untuk saya?"

Dan di akhir emailnya, beliau meminta saya untuk mengirim sebuah katalog "Setjangkir Kopi dari Plaja", untuk kekasih masa lampau nya, yang akan berulang tahun yang ke-70 di bulan April, bulan yang sama dengan ulang tahun Papermoon.

Dan di saat itulah, air mata saya dan Iwan, mengalir deras tak berhenti, lama sekali.
sebuah perasaan aneh mendesak di dada saya.
saya tidak pernah menyangka, membuat sebuah karya pertunjukan, teater boneka, bisa menggandeng saya sampai sejauh ini.

Memang bukan blow up media yang kami dapat dari pementasan mungil kami kali ini, bukan diliput televisi, dan bukan mendatangkan keuntungan materi yang bertubi..

Tapi sebuah rasa yang benar-benar menghantam ulu hati.
Ini bukan drama. Ini bukan sekedar pementasan yang ditonton orang dengan lampu menyala di atas panggung, dan segera berakhir saat lampu mati dan tepuk tangan bergemuruh.

*****



Pagi ini, saya menerima telepon...

Tenggorokan saya tercekat begitu mendengar namanya disebutkan.
Ia bertanya, saya siapa..
dan kenapa ada sebongkah kardus saya kirimkan untuknya.
Ia tak berani membukanya, sebelum ia memastikan, siapa pengirimnya.

Dengan gemetar saya memperkenalkan diri, siapa saya,
siapa papermoon Puppet Theatre,
dan darimana saya mendapat alamat beliau.
Dan begitu nama Pak Wi saya sebutkan, saya bisa mendengar napas yang tertahan di ujung sana.

Selepas itu suaranya terdengar begitu renyah, cerdas, hangat, dan riang.
Esok hari ia berulang tahun yang ke 71.

Saya ucapkan selamat ulang tahun untuknya.
Ia mengucapkan banyak terimakasih pada kami semua.
Obrolan panjang terjadi antara kami berdua.
Saya titip salam kepada suami tercintanya.

Kami berjanji untuk berjumpa,
dan beliau mengundang saya untuk mampir ke rumahnya kalau kelak datang ke kotanya..
saya ucapkan agar beliau sehat dan bahagia selalu..

****

Pagi ini saya menerima telepon..
Dari kekasih masa lampau Pak Wi.

***

Dan saat saya mengakhiri pembicaraan,
ada air menitik di sudut mata saya.
terimakasih, alam semesta..


yogyakarta, 18 april 2012



Minggu, 08 Januari 2012

"Secangkir Kopi dari Playa" seduhan Mira Asriningtyas ...

Sunday, January 8, 2012

A Love Story Told on Mother's Day 

http://thepicnicgirl.blogspot.com/2012/01/love-story-told-on-mothers-day.html

 (the tour bus)

 *****

At first, my mom hesitated to go watching Papermoon Puppet Theater's performance that night. If it wasn't a Mother's Day celebration, she would prefer staying at home and miss this heartwarming performance. I’m glad she finally said yes.  

Secangkir Kopi dari Playa* (A Cup of Coffee from Playa) is a site-specific puppet theater performance by Papermoon (I wrote about this theater once, here). The story was based on a true love story of Pak Wi** who got separated from his lover for over 40 years and spend his life waiting in vain, searching for the love of his life to fulfill his promise. It was such a coincidence that he shares the same nick name with my late father: "Pak Wi". That small fact must have meant a lot to my mom. :) 

That afternoon, we park the car at Kedai Kebun Forum and wait for the tour leader to take us to the 'secret' place where the play would be performed. A cute bus named "Sari Buah" (literally translated as "Fruit Juice") took us from KKF to Jangkrik Antique Warehouse. An old school styled tour guide (performed by Wulang, one of my favorite young artist) cheer us up by giving explanations with a dash of dry jokes about some old building we pass along the way.. Some jokes were so dry, it turned out hilarious. Especially at the end of the tour, we simply can't stop laughing!  

When the show begin, my mom and my sisters starts whispering to each other at certain parts, giggling, taken away by the story, and in some parts~ shed some sparkling tears. The story was heartbreaking but our story was a happy ending one. My mom was very happy (look at her smile at the end of this post!) and that's what really matters for me and my sisters.

Thank you, Papermoon..


*****

(Me and my sister, Mirla)

(Left: Me,my mom, my sisters Mirna and Mirla in the bus- Right: with mbak Ria Papermoon)
 
(Manda of Perempuan Gimbal, miy, and mb Ria of Kuwaci Kecil posing on the set)

*****

(with Dito next to the love bike)

*****

 (with my friend Octo who acted as the polaroid photographer)

 (with the mother of Papermoon herself)

*****

At the end of the show..


(My joyful mom hand-in-hand with my sisters)

*****

Photographed by Dito Yuwono, Octo Cornelius, and Hera Ariani








P.S.:
(*)   More about Secangkir Kopi dari Playa>> click here
(**) The true (heartbreaking) love story of Pak Wi >> click here: (1)(2)(3)(4) >> please read.. it worth all the fuss in clicking those four links.. it might remind you that true love exist. ;)
(***) There's a new update at Lir's blog: a review and a preview! >> click here

Selasa, 03 Januari 2012

a letter from Martha ... and a polaroid photo from Amanda...

On Dec 22, 2011, at 0:10, Martha Stroud <mstroud@berkeley.edu> wrote:

Mbak Ria yang baik,
Saya berharap bahwa saya tidak mengganggu Anda kalau saya menulis e-mail ini kepada Anda. Saya tidak berpikir bahwa saya bisa tidur tanpa mencoba menjelaskan pikiran saya (atau reaksi langsung saya) kepada Anda.
Sesudah pertunjukkan "Secangkir Kopi dari Playa," saya pergi ke Milas untuk makan. Saya duduk di sana dan melanjutkan mengalami emosi dari pertunjukkannya. Dulu, waktu saya bilang kepada Anda "Tidak ada kata untuk mendeskripsikan emosi saya,"
mungkin seharusnya saya bilang "Sulit untuk menemukan kata..." (bukan "tidak ada kata").  Kadang-kadang, saya merasa seperti anak kecil di dalam bahasa baru ini dan terutama sekarang.
Dari pelajaran bahasa Indonesia, saya tahu kata-kata "cantik" dan "indah." Kata-kata ini artinya "beautiful." "Cantik" untuk perempuan atau orang yang cantik. Indah untuk pemandangan yang indah atau danau yang indah (dll).Saya tidak tahu bagaimana bilang "beautiful" untuk pertunjukkan. Tetapi pertunjukkan "Secangkir Kopi dari Playa" beautiful sekali.

Saya tahu kalau ada orang seperti presiden, dia berkuasa. Dia punya kekuasaan. Di dalam bahasa Inggris, saya bisa menerjemahkan kata "kekuasaan" menjadi "power." Tetapi saya tidak tahu kalau kata itu hanya cocok dengan konteks politik atau bisa dipakai untuk mendeskripsikan kekuasaan secara emosi atau perasaan. Pertunjukkan "Secangkir Kopi dari Playa" powerful sekali. Pertunjukannya sangat mempengaruhi perasaan dan emosi saya.

Akhirnya, saya tahu kalau saya menaruh jari saya di atas sesuatu, saya menyentuh benda itu. Tetapi bagaimana kalau saya ingin bilang bahwa pertunjukannya "touched my heart." Menyentuh hati saya? (Atau jantung saya?) Saya kurang tahu kalau bisa bilang itu di dalam bahasa Indonesia, tetapi itu benar. "Secangkir Kopi dari Playa" touched my heart very much.

Sebelum sekarang, saya belum bingung tentang arti kata-kata ini. Tetapi pertunjukkan "Secangkir Kopi dari Playa" membuat saya mau mencari kata baru (atau arti yang persis) untuk mendeskripsikan pengalaman emosi saya yang baru dan luar bisa. Mudah-mudahan, Anda bisa mengerti kenapa saya bilang "tidak ada kata..."

Saya berpikir bahwa di pusatnya, cerita "Secangkir Kopi dari Playa" adalah cerita tentang cinta yang lama. Tetapi ceritanya juga tentang kehilangan, waktu yang berlalu, politik, sejarah, ingatan, dan hubungan di antara masa lalu dan saat ini. Ada dimensi begitu banyak di dalam "Secangkir Kopi dari Playa." Di pusatnya, cerita itu manis (tetapi juga menyedihkan, menurut saya) dan sangat menghormati pengalaman Pak Wi yang mengalami itu.

Saya tahu bahwa bagian reaksi saya tidak hanya terhadap cerita tetapi juga terhadap teater boneka Anda. Semua pemain boneka di dalam pertunjukkan bagus sekali dan dulu saya mencoba mengucapkan terima kasih kepada mereka. (Saya bisa agak malu.) Musik dan lampu dan kualitas production bagus sekali. Saya menikmati pengalaman lengkapnya - dari berkumpul di Kedai Kebun Forum sampai kembali ke sana. Dan keputusan untuk mempertunjukkan "Secangkir Kopi dari Playa" di toko barang antik pandai karena sudah berpikir tentang hubugan di antara masa lalu dan saat ini sebelum boneka masuk. Saya tidak bisa membayangkan pertunjukkan itu bisa dipisahkan dari toko barang antik itu.

Ada jauh lebih banyak yang bisa saya bilang tetapi e-mail ini sudah panjang dan saya tahu bahwa Anda sibuk sekali.
Minggu depan saya akan bepergian dari Yogya selama dua minggu. Saya akan kembali 12 Januari. Saya sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Anda sesudah saya kembali untuk mengobrol lebih lama.

Seperti saya bilang dulu, saya merasa bahwa saya sangat beruntung untuk menonton "Secangkir Kopi dari Playa," dan ya, saya sungguh menangis (dan juga tertawa) dan berpikir bahwa pertunjukkan itu luar biasa. Terima kasih dan selamat untuk sukses pertunjukkan itu.

I meant every word, and the performance still has stayed with me. I'm lucky I got to experience it. Happy holidays to you as well, and I hope you and Iwan have a safe and fun time in Japan.

 Salam hormat,
Martha


*Martha is a researcher from USA. 
 


polaroid photo by Amanda Mita- Riset Indie

a letter from Thom ...

Hello again!

This is Thom, the non-Indonesian, American, that attended the Friday, December 16th showing of "Setjangkir Kopi Dari Plaja". Kemampuanku berbahasa Indonesia masih jelek sekali, jadi mohon maafkan aku ya, tapi aku cuma ingin mengungkapkan betapa terpesonanya aku malam ini! Wadu, pertunjukannya sangat di luar biasa, dan aku nggak bisa berhenti memikirkan tentangnya. That was really exceptional stuff. Honestly, I feel compelled to speak in my mother tongue, otherwise I won't be able to express how very moved I am by the performance this evening. In all seriousness, a fire could have broke out around me, and I would have sat there, still transfixed on what was happening in the play. You all have made an everlasting admirer out of me :) I'm so glad I live here in Yogyakarta, where I hope I can catch another one of your shows again. I wish all of you nothing but success, and I hope to someday see all of you back in my home, DC. I'll bring a hell of a crowd. I promise. Terima kasih banyak.

Salam hangat (banget)
Thom

*******************